Penerjemahan dan Budaya

Selasa, 31 Juli 2012 | komentar


Penerjemahan dan Budaya

Istilah 'Budaya' disini membahas tiga kategori yang menonjol dari kegiatan manusia: 'secara pribadi,' dimana kita sebagai individu berpikir dan berfungsi sedemikian rupa, dan yang 'secara kolektif,' dimana kita berfungsi dalam konteks sosial; serta 'secara ekspresif,' dimana masyarakat mengungkapkannya sendiri. Dan bahasa hanyalah sebuah institusi sosial tanpa perlu adanya lembaga sosial lainnya tetap dapat berfungsi; karena itu menjadi dasar tiga pilar terbentuknya budaya.

Terjemahan, melibatkan transposisi dari pikiran yang dikemukakan dalam satu bahasa oleh satu kelompok sosial ke dalam ekspresi yang tepat dari kelompok lain, dan memerlukan suatu proses de-coding, coding dan re-en-coding budaya. Sebagai sebuah budaya yang semakin jauh dibawa ke dalam kontak yang lebih besar dengan satu sama lain, pertimbangan multikultural dibawa untuk menanggung ke tingkat yang terus meningkat. Sekarang, bagaimana semua perubahan ini mempengaruhi kita ketika kita mencoba memahami teks sebelum akhirnya menerjemahkannya?

Jasa Penerjemah Kami tidak hanya berurusan dengan kata-kata tertulis dalam waktu tertentu, ruang dan situasi sosial politik, yang paling penting itu adalah aspek "budaya" dari teks yang kita harus mempertimbangkan. Proses transfer, yaitu, kembali coding lintas budaya, sehingga harus mengalokasikan atribut terkait ke budaya target untuk memastikan kredibilitas di mata pembaca sasaran.

Multikulturalisme, yang merupakan fenomena masa kini yang memainkan peran penting di sini, karena telah berdampak pada hampir semua orang seluruh dunia dan juga pada hubungan internasional muncul dari tatanan dunia baru saat ini. Selain itu, karena teknologi berkembang dan tumbuh dengan kecepatan yang begitu pesatnya, sebagai akibatnya, dimulailah proses penggabungan. Merupakan sesuatu yag sulit untuk memprediksi. Jasa Penerjemah Kami berada di ambang sebuah paradigma internasional yang baru.

Sebagai penerjemah kita dihadapkan dengan budaya asing yang mensyaratkan bahwa pesannya tersebut harus disampaikan bagaimana pun juga kecuali dengan cara yang asing. Bahwa budaya mengungkapkan keanehan dalam hal 'budaya yang terikat': seperti istilah budaya, peribahasa dan tentu saja ekspresi idiomatic, dan penggunaan secara intrinsik dan unik yang terikat pada budaya yang bersangkutan. Jadi kita dipanggil untuk melakukan penerjemahan lintas-budaya yang keberhasilannya akan tergantung pada pemahaman kita tentang budaya tersebut.

Apakah tugas kita untuk fokus terutama pada budaya sumber atau budaya sasaran? Jawabannya tidak jelas. Namun demikian, kriteria yang dominan adalah fungsi komunikatif dari teks sasaran.

Mari kita korespondensikan sebuah bisnis sebagai contoh: di sini kita mengikuti protokol korespondensi komersial yang biasa terlihat dalam bahasa target. Jadi "Estimado" akan menjadi "Dear" dalam bahasa Inggris dan "Monsieur" dalam bahasa Prancis, dan "saludo sebuah Ud. Atentamente" akan menjadi "Sincerely yours" dalam bahasa Inggris.

Akhirnya, perhatian tertarik pada fakta bahwa di antara berbagai pendekatan penerjemahan, 'Pendekatan Terpadu' tampaknya yang paling sesuai. Pendekatan ini mengikuti paradigma global yang memiliki visi global dari teks di tangan yang memiliki kepentingan primer. Pendekatan seperti fokus dari makro ke tingkat mikro sesuai dengan prinsip Gestalt-, yang menyatakan bahwa analisis bagian tidak dapat memberikan pemahaman tentang keseluruhan, dengan demikian studi terjemahan pada dasarnya prihatin dengan jaringan hubungan, pentingnya individu barang yang ditentukan oleh relevansinya dalam konteks yang lebih besar seperti teks, situasi dan budaya.

Sebagai kesimpulan, dapat menunjukkan bahwa transcoding harus difokuskan tidak hanya pada transfer bahasa tetapi juga yang paling penting adalah pada transposisi budaya. Sebagai konsekuensi yang tak terelakkan dari pernyataan sebelumnya, penerjemah harus benar-benar berkemampuan baik dalam hal bilingual dan Dwibudaya bahkan jika perlu dalam hal multikultural.


Penerjemah LPBT Jakarta http://penerjemahan.blogspot.com/2012/04/penerjemahan-dan-budaya.html#ixzz22FC6LrVk

Kualitas Terjemahan dan Masalahnya

| komentar


Penerjemah adalah profesi praktis dan nonakademis yang bertumpu pada kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris.Peneliti dan kritikus terjemahan adalah profesi yang sifatnya akademis atau semiakademis. Mereka pengkaji dan bukan praktisi penerjemahan.

Pendidikan sarjana, magister, atau pun doktor di bidang penerjemahan memberikan kemampuan akademis dan bukan praktis di bidang penerjemahan, kecuali jika kurikulumnya memang dirancang untuk menghasilkan penerjemah.

Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk. Pertanyaannya bagaimana menanggulangi masalah ini?

Pertama
Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah Indonesia menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan penerjemahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini untuk menjaga kualitas.

Kedua
Penerjemah harus selalu meningkatkan dan memperluas serta menyegarkan pengetahuannya.

Ketiga
Sebagai tempat mengembangkan program pelatihan di samping program pendidikan formal di jenjang pascasarjana (spesialis atau magister).

Keempat
HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan nonformal untuk meningkatkan kualitas.

Kelima
Peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas.

Keenam
Pengembangan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan fungsional agar karirnya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh Sekretariat Negara dan Kementerian PAN).

Ketujuh
Perlu ada standardisasi kualitas melalui ujian kualifikasi (sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia). Itulah sketsa profesi penerjemah Indonesia. Semoga penerjemahan yang ngawur seperti dikeluhkan Alfons Taryadi bisa berkurang jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar.

Blog Penerjemah Lpbt

Tokoh Pewayangan Bagian Kedua

Senin, 30 Juli 2012 | komentar


Bima
Ia disebut juga Raden Bratasena atau Werkudara. Salah seorang dari keluarga Pandawa Lima yang bertahan di Negara Jodipati, ia memiliki sifat kasar dan manakutkan musuhnya. Dalam pertemuan-pertemuan keluarga selalu memberi semangat untuk berjuang membela kebenaran. Bima mempunyai senjata “Kuku Pancanaka”, kuku ibu jari yang sangat ampuh dan ditakuti musuh. Bima sebagai lambang keberanian dan kedigdayaan.
He was also called Raden Bratasena or Werkudara. He was one of Pandawa Lima members living in Negara Jodipati. He was rude and brave to his enemies. In a family gathering, he always encouraged everyone to struggle against violence to enforce the truth. Bima has a weapon namely "Kuku Pancanaka", a very devine thumb nail and respected by every enemy. Bima is a symbol of valor and superpower.   







Prabu Kresna
Semasa muda ia bernama Narayana. Kresna menjadi raja di Dwarawati dan menjadi pelindung/ penasihat keluarga Pandawa. Ia mempunyai senjata ampuh “Cakra” berupa panah sakti dan kembang cangkok Wijayakusuma yang berkhasiat. Ia sebagai lambang seorang raja yang arif dan bijaksana, penasihat perang dan pengamat politik Negara.
When he was young, his name was Narayana. Kresna was a king in Dwarawati and as the advisor of family of Pandawa. He had a consecrated weapon called “Cakra”, a sacred arrow and Kresna had another divine heirloom called Kembang (flower) Wijaya Kusuma. He is a symbol of a wise and sensible king, the war consultant and politics consular of a state.





Sri Rama
Ia adalah suami dari Dewi Shinta. Diceritakan istrinya diculik oleh Rahwana seorang Raja Raksasa dari Negara Alengka. Dengan bantuan Hanoman, kera putih, ia berusaha membebaskan istrinya. Tetapi setelah istrinya bebas, ia menjadi sangsi apakah pujaan hatinya itu masi suci dari cengkraman Rahwana? Untuk membuktikan itu, ia meluluskan permohonan istrinya untuk membakar dirinya. Ternyata api tidak dapat menghanguskannya dan membuktikan bahwa istrinya masih suci. Rama dilambangkan dengan symbol cinta: Cinta suami yang melindungi istrinya.
He was Shinta’s husband. His wife was kidnapped by Rahwana, a king of demons in Negara Alengka. By the help of Hanuman, a white monkey, he tried to release his wife. After the release of his wife, however, he was doubtful whether his beloved was still a virgin? To prove it, he granted her request to burn Shinta. In fact, the flame could not burn her at all and this proved that she was still a virgin. Rama is a symbol of love: a husband’s love to take care sincerely his wife.

Dewi Shinta
Dalam cerita klasik Ramayana, Shinta adalah istri dari Sri Rama, ia telah diculik dan disekap oleh Rahwana. Ia dapat dibebaskan dengan susah payah oleh suaminya dibantu oleh Hanoman seekor kera putih dan iparnya Lesmana. Untuk membuktikan dirinya masih suci kepada suaminya, ia bersedia untuk dibakar hidup-hidup oleh suaminya. Karena dirinya masih suci, api tak sanggup menghanguskannya. Ia sebagai lambang istri yang dapat mempertahankan martabat dan kehormatan.
In the Ramayana classical story, Shinta was Sri Rama’s wife. She was kidnapped and locked up by Rahwana. She was released by her husband and helped by Hanuman, the white monkey and the brother-in-law of Lesmana. To prove that she was still a virgin, she was burned by her husband, but the flame didn’t burn her, proving her holy innocence. She was a symbol of respecting dignity and honour.  

KAHYANGAN JAGAT PURA AGUNG GUNUNG RAUNG

| komentar

istaraung1
Desa taro adalah sebuah desa dengan keindahan alam dan kehidupan masyarakatnya yang sangat khas. Alam yang asri, udara yang segar  menebar pesona bagi siapa saja yang berkunjung ke wilayah ini. Dengan segala keunikannya,  desa Taro telah menjadi salah satu tujuan wisata di pulau seribu pura ini. Dibalik geliat kehidupan pariwisata yang berkembang  di desa Taro, tersimpan jejak peradaban manusia Bali. 

istaraung2Di tempat inilah, pijakan tentang nilai-nilai kebijaksanaan dicetuskan. Adalah Ida Maha Yogi Rsi Markandeya yang berperan penting dalam sejarah manusia Bali. Rsi Markendya bersama para pengikutnya membangun tatanan kehidupan baru. Hal ini berawal dari perjalanan Ida Mahayogi Rsi Markandeya yang mendapatkan  wahyu  dari Hyang Penguasa Alam ketika melakukan tapa yoga semadhi di Gunung Raung Jawa Timur. Dalam wahyu tersebut, Sang Maha Rsi diperintahkan untuk  melakukan menyebarkan agama Hindu kearah timur yakni Bali Puline. 

‘’wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaran lemah Sarwada. Sarwada ngaran. Salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markyandya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro……..”

Menurut Nyoman Tunjung Kelian Adat Desa Pekraman Taro Kaja selama berabad abad masyarakat Bali dengan tekun melaksanakan ajaran Mahayogi. Sejalan dengan perkembangan  kehidupan manusia.  Tidak dapat dipungkiri Desa Taro berperan penting dalam perkembangan manusia Bali  yang bercorak agraris. Ditempat inilah awal mulanya dibangun sistem bercocok tanam dengan irigasi yang dikenal dengan Subak. 

Sistem satuan hidup setempat pun dimulai, pola menetap dengan seperangkat aturan atau awig awig. Saat ini dikenal dengan istilah desa adat atau pekraman. unsur Desa Pekraman meliputi  Palemahan, Pawongan dan Parhyangan. Kehidupan menetap yang ditunjang oleh Basis Agraris mampu  memberi kesejahteraan bagi masyarakat desa Taro. Pawongan dan Palemahan  menjadi tatatanan masyakat Bali dalam menjaga hubungan dengan sesamanya. Sementara Parhyangan yang dibangun Maha Yogi adalah Pura Agung Gunung Raung.

Dalam setiap upacara, lembu putih adalah sarana penting  dan dipercaya sebagai satu kekuatan yang mampu memberikan energi positif terhadap berlangsungnya rangkaian upacara. Keyakinan bahwa lembu putih merupakan binatang suci milik dewa diiringi dengan perlakuan khusus terhadap binatang tersebut. Misalnya sikap sopan dan hormat, serta sejumlah pantangan  untuk mempeker¬jakan, memperjualbelikan, mengkonsumsi daging ataupun susunya. Pelanggaran terhadap hal-hal tersebut diyakini dapat mendatangkan bencana bagi pelakunya. 

Kahyangan Jagat Pura Gunung Raung berlokasi di desa Taro Kecamatan Tegalalang Gianyar, berjarak 25 kilometer dari Kota Gianyar atau sekitar 42 kilometer dari Kota Denpasar. Letak Pura Kahyangan ini diantara Dua buah Aliran sungai yaitu Sungai Wos Lanang atau disebut juga Wos Kangin atau Wos Timur, dan wos wadon di sisi barat yang disebut dengan Wos Kauh.  Berdekatan dengan Kahyangan Jagat Pura Gunung Raung terdapat pula Pura Sang Hyang Tegal dan Pura Waturenggong di sebelah utara,  Pura Sang Hyang Alang  dan Sang Hyang Rau diselatan dan Pura Dalem Pingit di sebelah timur.  Selain pura-pura besar ini, masih ada puluhan pura kecil lainnya disekitarnya.  Seperti kawasan pedesaan pada umumnya, suasana disekitar  Pura Kahyangan Jagat  Gunung Raung sangat lestari. Disebelah selatan, utara dan timur pura terdapat pemukiman penduduk. Sementara di sebelah barat terdapat hutan Taro yang hingga kini masih dikeramatkan oleh masyarakat desa  ini. 

istaraung3Pura Agung Gunung Raung mempunyai empat “pemedal” atau gapura, yang disebut dengan mapemedal meempat atau nyatur. Sementara  pemedal yang terletak di barat  mempunyai fungsi “pemargin” Ida Betara Sesuunan  ring Gunung Raung. Disebutkan pada bagian selatan dan utara  selain berfungsi “pemargin” Ida Betara Sesuunan  ring Gunung Raung, juga  dipergunakan sebagai jalan masuk para pemedek yang tangkil ke Pura Gunung Raung. Titi Ugal Agil atau disebut juga dengan Titi Gonggang posisinya berada  di depan pemedal  untuk pemedek. 

Masyarakat sangat mempercayai, apabila ada yang mempunyai keinginan yang kurang baik terhadap Pura ini,  energi negatif tersebut akan hilang apabila melintasi pemedal Titi Ugal Agil. Pemedal Agung  berada di depan pura menghadap kearah timur.  Pemedal ini sangat disucikan, karena merupakan pemargin Ida Sesuhunan di Pura Agung Gunung Raung.  Secara turun temurun, masyarakat setempat tidak berani  menggunakan perhiasan emas melewati pemedal ini. Selain itu, wanita yang hamil dan menyusui dilarang  melewati pemedal ini. Pelinggih utama adalah Pejenengan Mageng Meru Tumpang Telu yang merupakan linggih Ida Betara Sakti Sesuhunan ring Gunung Raung.  


Sebuah “Pejenengan Kul Kul “ yang terbuat dari  tangkai bunga Pohon Selegui, berada di dekat pelinggih Bale Agung.  Dalam setiap pujawali di Pura Agung Gunung Raung,  Pejenengan Kul kul ini akan dibunyikan.  Pelinggih Bale Agung berada di madya mandala,  dengan 24 tiang penyangga.  Pelinggih ini berfungsi sebagai tempat melaksanakan musyawarah mengenai kepentingan pura.  Beberapa bagian dari material Bale Agung merupakan warisan Ida Maha Yogi Markandeya yang hingga kini tetap berdiri kokoh. 

Atas prakarsa pengempon Pura Agung Gunung Raung,  yakni desa Pekraman Taro secara bertahap telah melaksanakan perbaikan dan penataan di beberapa bagian Pura.  Tahun 2010, keseluruhan Pelinggih termasuk tembok penyengker dan candi telah usai direnovasi.  Selama beradad-abad, Pura Agung Gunung Raung tetap berdiri kokoh diatas tanah  Bumi Sarwada-Taro, begitu pula yadnya yang pernah digelar di Pura ini. Pada tunggul Pura Agung Gunung Raung menyebutkan Raja Mengwi pernah melaksanakan karya pujawali yang sangat besar dengan melibatkan desa desa di seluruh Bali. 

istaraung4Dengan rampungnya  renovasi pelinggih secara keseluruhan,  adanya pembacaan tunggul dan prasasti, serta meningkatnya kesadaran umat beryadnya, maka sesuai dengan Paruman Agung Pura Gunung Raung, Pada sasih Kedasa 2011, tepatnya hari rabu wuku Ugu akan dilaksanakan Karya Agung Panca Bali Krama Penyegjeg Jagat. Selaku Yajamana karya adalah Ida Pedanda Geria Aan Klungkung.  

Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat yang dilaksanakan di Pura Agung Gunung Raung Desa Pekraman Taro Kaja, tujuannya sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghaturkan persembahan  dengan iklas. Kahyangan Jagat Pura Agung Gunung Raung/ menjadi saksi sejarah perjalanan kehidupan di Bali. Ketekunan tetua Bali jaman dahulu dengan menanamkan nilai nilai luhur patut diteladani. Semoga dari Desa Taro, dengan  pelaksanaan Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat dapat menerangi setiap umat manusia, turut menjaga Jagat Bali.


Sumber: KAHYANGAN JAGAT  PURA AGUNG GUNUNG RAUNG -Nyoman Rai Parwati

Hindari Frasa ‘Banci’

Jumat, 27 Juli 2012 | komentar


LARAS BAHASA Hindari Frasa ‘Banci’
Lampungpost.com
Rabu, 11 July 2012 06:04

KATA banci berhubungan erat dengan gender. Sebab, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema banci memiliki arti leksikal “tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan”. Namun, tulisan ini tidak membahas mengenai banci berdasarkan arti kamus (leksikal), tapi sebagai istilah untuk mengungkapkan sebuah frasa yang unsur-unsurnya berasal dari dua bahasa yang berbeda.
Untuk diketahui, menurut Abdul Chaer dalam Linguistik Umum (2003:222), frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif.
Selain frasa “banci”, ada juga yang menyebutnya dengan istilah bentuk gado-gado—seperti yang diutarakan Ninawati Syahrul dalam artikel sebelumnya. Contoh frasa seperti itu terdapat dalam bentuk-bentuk seperti home industri, open turnamen, study tur, dan sebagainya.
Kasus ini akan menjadi terasa sangat bermasalah ketika kita menggunakannya dalam ragam tulisan. Penulis bisa saja keliru dalam menuliskan bentuk-bentuk tersebut. Faktornya beragam, di antaranya terbatasanya perbendaharaan kosakata penulis maupun kurangnya pengetahuan penulis terkait dengan pembentukan frasa. Dalam ranah sosiolinguistik, gejala ini disebut campur kode.
Lalu, apakah yang menjadi problematika pada bentuk-bentuk itu. Frasa home industri terdiri dari dua unsur kata pembentuk, yakni "home" dan "industri". Kalau ditelusuri berdasar asal bahasanya, ternyata dua bentuk itu berasal dari dua bahasa yang berbeda, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Sebaiknya, jika mau menggunakan bahasa Inggris, gunakanlah bahasa Inggris sepenuhnya, sehingga menjadi home industry. Namun, jika ingin dibentuk menggunakan bahasa Indonesia, gunakanlah istilah industri rumah tangga.
Begitu juga dengan frasa open turnamen, tulis saja turnamen terbuka atau open tournament. Jangan sampai dalam satu frasa terdiri dari dua unsur kata dari bahasa yang berbeda. Kalau selang-seling, ya banci, alias setengah-setengah. Kalau dipaksakan dipakai, ya seperti gado-gado, campur aduk tidak keruan.
Sebenarnya, masalah seperti ini juga terjadi pada tataran yang lebih kecil, yakni pada tataran kata, seperti adanya dua morfem dalam satu kata yang berasal dari dua bahasa yang berbeda, seperti "di-support", "meng-cover", dan "me-rolling"
Kata dasar dari tiap-tiap bentuk tersebut adalah support, cover, dan rolling, yang bisa diindonesiakan menjadi dukung, kover, dan mutasi. Dengan demikian, bentuk-bentuk itu menjadi lebih "mantap" apabila diubah menjadi didukung, mengover, dan memutasi.

Filosofi Ketupat

| komentar


Sumber : Wikipedia
Di antara beberapa kalangan di pulau Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Ada masyarakat yang memegang tradisi untuk tidak membuat ketupat di hari biasa, sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga lima hari (jawa ; sepasar) sesudahnya. Bahkan ada beberapa daerah di pulau Jawa yang hanya menyajikan ketupat di hari ketujuh sesudah lebaran saja atau biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat.
Di pulau Bali, ketupat (di sana disebut kipat) sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Selain untuk sesaji di Bali ketupat dijual keliling untuk makanan tambahan yang setaraf dengan bakso, teutama penjual makanan ini banyak dijumpai di pantai Kuta diorong keliling disana.
Tradisi ketupat (kupat) lebaran menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari Bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan kupat. Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan kupat menjadi tradisi Islami dimana kupat menjadi makanan yang selalu ada disaat umat Islam merayakan lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan.
[sunting]Nama-nama lokal

bahasa Bali: tipat
bahasa Banjar: katupat
bahasa Betawi: tupat
bahasa Cebu: puso
Bahasa Filipino: bugnoy
bahasa Jawa: kupat
bahasa Kapampangan: patupat
bahasa Makassar: burasa
bahasa Melayu/Indonesia: ketupat
bahasa Sunda: kupat
bahasa Tausug: ta’mu
bahasa Tolitoli: kasipat
bahasa Minangkabau:katupek
bahasa sasak:topat

Sumber: http://tanbihun.com

Darimana sebenarnya asal-usul ketupat? siapa pertama kali yang menemukan dan mempopulerkan ketupat? Seperti tradisi-tradisi lain di indonesia pasti memiliki,sejarah latar belakang, tidak jarang ada makna filosofi dari tradisi-tradisi tersebut. bagaimana dengan ketupat? mari kita simak hasil penelusuran kami di google berikut ini :
Umumnya ketupat identik sebagai hidangan spesial lebaran, tradisi ketupat ini diperkirakan berasal dari saat Islam masuk ke tanah Jawa.
Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.

Ketupat sendiri menurut para ahli memiliki beberapa arti, diantaranya adalah mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Yang kedua, mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Yang ketiga mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu dihubungkan dengan kemenangan umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak hari yang fitri.

Sumber:Opini Pribadi
Ketupat berasal dari kata LAKU dan PAPAT. Laku = Perlakuan/Tindakan/Perbuatan dan Papat = empat (4). Jadi, di Bulan Suci Ramadhan dan 1 Syawal ini ada empat tindakan/perbuatan kita sesuai perintah Allah yang tidak biasa dilakukan di bulan lain. Perbuatan itu ialah Sahur bersama, Buka Puasa bersama, Tarawih, Shalat Ied.
Jadi Ketupat adalah simbol segi empat (bangun datar) dan kubus/balok (karena belah ketupat tidak punya bangun ruang) yang menandakan bahwa hal-hal yang kita lakukan selama bulan puasa dan 1 Syawal. Demikian.

Kebudayaan Indonesia Gagal

| komentar


Kebudayaan Indonesia Gagal
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012



Kalau tidak satu-satunya, setidaknya salah satu hal vital dalam hidup berbangsa dan bernegara di republik ini yang senantiasa gagal ditemukan atau disepakati adalah soal ”kebudayaan Indonesia”.

Apa dan bagaimana ”kebudayaan Indonesia” itu? Rumusan konstitusional yang diilhami oleh Ki Hajar Dewantara tentang, misalnya, ”puncak-puncak kebudayaan”, sudah sejak masa kemerdekaan menuai kritik atau keberatan dari berbagai kalangan, terutama para pemikir dan pekerja kebudayaan. Hingga detik ini.

Secara teoretis (per definisi) juga praktis, sesungguhnya kita tidak—dan belum pernah—memiliki ”kebudayaan Indonesia”, sebuah tatanan nilai dan simbolik yang secara universal mampu merangkum ratusan budaya lokal yang sudah berusia ratusan dan ribuan tahun. Tampaknya inilah salah satu di antara beberapa sebab substansial yang menciptakan kerancuan, kegamangan di semua kalangan pada hampir seluruh lapisan masyarakat pemilik negeri ini.

Kebudayaan kita masih berlangsung dengan dasar-dasar etis dan normatif yang berdiam, bertahan, berkembang, dan diwariskan oleh adat dan tradisi. Sebuah kondisi yang sebenarnya tak jadi persoalan karena ia sudah berlangsung ratusan kali lebih lama dari usia republik ini. Namun, ia jadi persoalan besar ketika modernisme, beserta cara berpikir dan kecenderungan mentalnya, menuntut adanya ”universum” di atas yang tak dapat disediakan, baik oleh para pemimpin maupun pemikir negeri ini, juga oleh para pemeluk teguh adat di berbagai etnik.

Akhirnya, kita kemudian—dengan kesadaran modern itu—berpaling kepada deretan buku di perpustakaan (entah yang tersedia di Oxford, Leiden, Paris, New York, bahkan Tokyo, Beijing, Baghdad, atau Kairo) untuk menemukan dasar-dasar nilai dan etika yang mungkin cocok—tepatnya dicocok-cocokkan—dengan realitas sosial, politik, hukum, akademik, agama, hingga akhirnya kultural kita.

Terjadilah kemudian fenomena berlapis-lapis, tumpang tindih, bahkan konflik antara nilai-nilai baru (yang modern dan global itu) dan apa yang di lokal telah eksis begitu lamanya. Wajar jika kemudian muncul banyak standar ganda dalam cara kita beretika, berperilaku, bahkan berpikir, beragama, berbudaya di semua lapisan dan tingkatan masyarakat kita. Kita menyaksikan, misalnya, bagaimana seseorang melakukan kesalahan—bahkan terkategori ”dosa”—tanpa sikap, raut wajah, atau jiwa yang merasa bersalah. Betapa kita lihat di televisi, para pelaku korupsi hebat memiliki wajah yang polos, naif, dan bersih.

Transplantasi Budaya

Para pelaku kejahatan kemanusiaan saat ini tampaknya memandang tindakannya ”tidak salah” karena menganggap hal itu sudah umum dilakukan. Sebuah keumuman segera berubah menjadi ”lumrah”, dan kelumrahan akan berakhir menjadi norma (yang tidak keliru atau dapat dibenarkan). Alasan lain, apa yang dilanggar adalah norma baru (modern) yang mereka dapat dengan cara transplantasi, cangkokan, tidak melalui internalisasi atau akulturasi sebagaimana adat dalam diri mereka.

Satu hal yang perlu diingat, semua yang merupakan tempelan atau cangkokan akan menjadi artifisial di negeri ini sebelum ia meruang dalam waktu yang berjangka panjang. Dan semua yang artifisial akan dengan mudah diganti, diperbarui, atau dibuang karena sifatnya yang temporer. Tindakan itu diterima karena tidak melukai adab yang terbangun dalam diri seseorang.

Dengan penjelasan yang sangat disederhanakan, kita pun dapat mafhum bahwa tidak ada gunanya kita senantiasa ribut tentang sistem yang tepat atau panutan yang tak kunjung lahir jika fondasi kultural yang melahirkan itu tak kunjung kita temukan atau sepakati bersama. Adalah mimpi kosong kita membayangkan sistem sehebat apa pun, yang kita comot dari laci perpustakaan atau rayuan sebagian orientalis, dapat kita terapkan (baca: cangkokan) begitu saja dalam peri hidup kita berbangsa dan bernegara saat ini.

Adalah juga harapan hampa jika kita mengharapkan mendapat acuan atau panutan dari tokoh-tokoh elite atau para pemimpin masa kini, yang sudah terlampau tenggelam dalam ”rayuan” dan buku-buku teks, sehingga mereka—sadar dan tak sadar—meninggalkan atau menafikan adab dan kultur yang secara primordial mengendap di daging dan batin mereka. Kita akan terus dalam kondisi itu hingga kita menyadari di dasar semua harapan itu ada hal lain yang lebih desisif: kebudayaan. Kebudayaan Indonesia!

Enam Identifikasi

Bagaimana sebenarnya ”kebudayaan Indonesia” yang selalu gagal kita pahami, rumuskan, dan sepakati itu? Saya memiliki proposal yang saya ringkas di sini.

Pertama, ”kebudayaan Indonesia” mesti berani kita tempatkan bukan sebagai rumusan yang beku bahkan mati, sebagaimana postulasi atau teori. Karena itu, lupakan sejenak metodologi saintifik atau cara berpikir yang logosentris karena ia akan gagal di langkah pertama dalam memahami hal ini.

Kedua, ”kebudayaan Indonesia” sebenarnya adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti dari laku pembudayaan alias ”pemberadaban”, sebagaimana terjadi di semua kultur etnik di kepulauan ini sejak ribuan tahun lalu. Ketika proses ini dibakukan, dalam teori atau definisi, sesungguhnya ia tidak hanya dibakukan, tetapi juga dibekukan.

Ketiga, ”kebudayaan Indonesia”—sebagai konsekuensi hal di atas—diproduksi, dikembangkan, dan ditransmisi (diwariskan) tidak melalui artefak-artefak material, yang antara lain dibutuhkan para peneliti, tetapi melalui mekanisme yang bersifat sangat praksis, langsung, sehari-hari; melalui ”laku” untuk menjadi ”lakon”. Di sini produk-produk kebudayaan kita dihasilkan lebih secara lisan ketimbang tulisan (sebuah tradisi yang diajarkan oleh bangsa Arya-India di awal Masehi).

Betapapun budaya tulisan meningkat, karena kebutuhan ilmu dan modernisasi, praktik lisan masih sangat kuat berlangsung di hampir seluruh bagian negeri ini. Hal ini membuat sebuah produk kultural Indonesia sejak mula lebih bersifat komunal/kolektif ketimbang personal/individual sebagaimana tradisi di Eropa (Barat). Hal ini membawa kita pada identifikasi keempat di mana sebuah produk kebudayaan di negeri ini akan memiliki makna dan fungsi ultimnya ketika ia berhasil disignifikansi atau difungsikan oleh semakin banyak orang/kalangan. Sebuah budaya haruslah bersifat sosial.

Mengapa? Karena, kelima, dalam kebudayaan atau adat-adat lokal kita, manusia (individu) tidak dapat dikonstitusi tanpa keterkaitannya dengan publik di sekelilingnya. Manusia bereksistensi karena adanya eksistensi lainnya. Maka, inilah identifikasi terakhir sementara ini, satu person akan mendapat pengakuan, posisi, hingga harkat dan martabatnya ketika ia menjadi aktor (produsen) kebudayaan yang utama dalam proses dan impaknya. Di sinilah seorang panutan juga pemimpin bisa lahir

INDONESIA MENUJU NEGARA GAGAL

| komentar


Menuju Negara Gagal

Ucapan para tokoh lintas agama beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa Indonesia terancam menjadi negara gagal ternyata bukan isapan jempol. Dalam survei yang dilakukan sebuah lembaga non-profit yaitu The Fund for Peace, Indonesia berada dalam status In Danger (dalam bahaya). Dalam peringkat negara-negara tersebut, Indonesia berada di peringkat 63 dari 178 negara. Tahun lalu, Indonesia masih sedikit lebih baik yaitu peringkat 64.

Dalam index ini, semakin besar peringkat menandakan negara tersebut berada dalam kondisi semakin stabil. Sebaliknya, semakin kecil peringkat, berarti semakin mendekati negara gagal. Dalam survei ini, peringkat satu, yang berarti negara gagal, adalah Somalia. Sementara peringkat 178, yang berarti negara stabil, adalah Finlandia.

Index Negara Gagal 2012 ini merupakan pengukuran tahunan yang ke delapan kali dengan waktu pengumpulan data dari 1 Januari 2011 sampai 31 Desember 2011. Index berdasarkan pada 12 indikator politik, sosial, dan ekonomi dengan lebih dari 100 sub-indikator.

Dalam salah satu bagian laporan index ini, terlihat peta dunia, di mana Indonesia terlihat berwarna agak merah. Warna ini satu tahap di bawah warna merah yang menandakan negara gagal. Dengan warna yang telah memerah ini sesunguhnya, sesuai statusnya, Indonesia berada dalam tahap kritis menuju negara gagal.

Beberapa faktor yang menempatkan Indonesia ke dalam kondisi in danger antara lain buruknya infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, maraknya korupsi, tingkat pengangguran yang tinggi, kehancuran ekologis dan kekerasan terhadap minoritas agama. Semuanya ini telah dikeluhkan berbagai kalangan di tanah air namun pemerintah seakan tidak peduli.

Dahulu, peringatan para tokoh lintas agama yang mengatakan bahwa negeri ini teranca menjadi negara gagal tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Dengan adanya survei yang seakan mengafirmasi pernyataan para tokoh lintas agama ini, apakah pemerintah masih akan menyepelekannya.

Respon pemerintah terlihat beragam dalam menyikapi hasil riset ini. Ada yang bersikap dingin, ada yang menyikapinya secara normatif, dan ada pula yang menanggapi secara sinis cenderung membantah. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto misalnya menanggapi hasil riset dengan nada tidak percaya. Ia mengatakan bahwa kehidupan demokrasi. Keterbukaan dan kebebasan pers di Indonesia sangat maju. Joko berusaha meyakinkan bahwa sekarang ini negara kita sedang membangun. Ia seakan ingin mengatakan bahwa hasil riset tentang negara gagal tersebut tidak bias dipercaya kebenarannya.

Sikap yang diperlihatkan Menkopolhukam ini amat disesalkan. Hasil riset ini seharusnya menjadi bahan evaluasi dan perubahan ke arah perbaikan, bukan dinafikkan. Secara logika saja, hasil riset lebih mendekati fakta disbanding sekedar opini penutup kebobrokan.

Sikap menyepelekan, tidak peduli dan tidak percaya terhadap hasil riset atau pun terhadap penilaian para tokoh agama, sembari menutupi kondisi bahaya dengan angka-angka statistik makro yang mungkin saja benar tetapi tidak mencerminkan kondisi riil di masyarakat, adalah sikap yang akan semakin menjerumuskan Republik ke dalam kondisi negara gagal.

Sikap seperti ini sesungguhnya lebih berbahaya dibanding status dalam index itu sendiri. Sikap menyepelekan, tidak percaya, apalagi tidak peduli membuat republik terus melorot ke arah negara gagal tanpa bisa lagi diselamatkan. Di sini pemerintah perlu evaluasi.

Setiap hasil riset merupakan buah dari kerja keras. Hasil riset index Negara Gagal ini merupakan hasil kerja keras untuk memotret kondisi setiap negara. Penyelenggara riset tidak akan sembarangan dalam risetnya. Karena itu, hasil riset ini perlu dijadikan salah satu pegangan dan bahan evaluasi demi perbaikan, bukan diabaikan dan dinafikan. Ini jika kita masih menginginkan Republik ini tetap eksis dan menjadi negara besar seperti yang dicita-citakan.

Soegeng Sarjadi Syndicate@2012

Prosedur Penerjemahan

| komentar


Menurut Newmark (1988:19-30), Prosedur Penerjemahan ada empat bentuk sebagai berikut:
1. Textual Level (tingkat teks)
2. Referential Level (tingkat referensi)
3. Cohesive Level (tingkat kohesif)
4. Natural Level (tingkat alamiah)
Dalam tataran tekstual, seorang penerjemah harus memahami terlebih dahulu jenis teks yang diterjemahkan khususnya berkaitan dengan kata dan kalimat. Dalam menerjemahkan, kita masih mentransfer tata bahasa BSu ke BSa dengan mudah,begitu juga dengan kata, frasa, kalimat dan ungkapan dalam BSu yang mudah ditemukan kesepadannya dalam BSa. Dapat dibilang bahwa ini masih dalam tahap penerjemahan literal. 
Dalam tataran referensial, seorang penerjemah juga memperhatikan istilah atau terminologi dalam teks. Kemudian, pencarian sumber referensi sesuai dengan istilah yang berkaitan itu. Dalam hal ini, ketika menemukan ketidakjelasan dalam teks atau ketaksaan (ambiguitas) bahkan suatu ungkapan yang terasa asing, pastinya kita akan bertanya-tanya sendiri ataupun kebingungan. Penerjemah membutuhkan tidak hanya kamus ekabahasa tapi juga tesaurus, ensiklopedia, glosari, buku-buku, majalah, koran hingga pencarian di internet. 
Dalam tataran kohesif, terdapat dua faktor yang perlu ditinjau: struktur dan suasana hati (mood). Pertama, Seorang penerjemah perlu meninjau kekohesifan teks setelah diterjemahkan terutama hubungan antara kata atau kalimat pada teks. Kita akan lebih memerhatikan kata penghubung (konjungsi) berupa kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat. Kedua, faktor ini juga disebut faktor dialektikal. Penerjemahan juga tergantung pada suasana hati penerjemah. Hal ini behubungan dengan perasaan, emosi, netralitas penerjemah. Biasanya pernejemahan ini terjadi pada kata sifat, ungkapan idiomatis, dan suatu peristiwa.
Dalam tataran alamiah, penerjemah harus meyakinkan bahwa terjemahannya masuk akal, terlihat alamiah atau tidak terasa hasil penerjemahan. Artinya, teks harus dengan bahasa yang wajar, tata bahasa yang tidak kaku, serta menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan tema di teks. Pastinya pula, teks dapat dengan mudah dimengerti dan diterima oleh pembaca. 
Keempat tataran tersebut sebaiknya dipadukan ketika menerjemahkan karena penerjemahan merupakan suatu diskusi yang dilakukan sendiri dengan ditemani beberapa referensi. 

Istilah Keimigrasian dalam Bahasa Inggris (bag2)

Kamis, 26 Juli 2012 | komentar

Pejabat Imigrasi = Immigration Officer
Tanda Masuk = Entry Mark
Tanda Keluar = Exit Mark
Pencegahan = Prevention
Penangkalan = Detterence
Penyelundupan Manusia = People Smuggling
Tindakan Administrative Keimigrasian = Immigration Administrative Compliance
Ruang Detensi Imigrasi = Immigration Detention Room
Deteni = Detainee
Deportasi = Deportation
Perdagangan Orang = Human Trafficking
Kelahiran di Luar Nikah = Minor's Birth
Pengawasan Keimigrasian = Immigration Supervision
Pemeriksaan Keimigrasian = Immigration Examination of person
Alih Status = Conversion of Status
Izin Masuk Kembali = Re-entry Permit
Perkawinan campur = mixed marriage
Bebas Visa = Visa Exemption

Penerjemahan Istilah Hukum (bag1)

Selasa, 24 Juli 2012 | komentar (2)


Kedudukan Hukum = Legal Standing
Uji Materil/PK = Judicial Review
Perbuatan tercela/ penghinaan/Pertentangan hukum = Contempt of court
Justice Collaborator = Saksi pelaku yang bekerja sama
Diskriminasi Positif = Affirmative Actions
Threshold = Ambang batas
Access to Justice = Sama rata sama rasa
District Attorney = Jaksa Wilayah
Jaksa Agung = Attorney General
Pelapor Tindak Pidana/Perdata = Whistle blower
Pembuktian Terbalik = Shifting burden of proof
Pengembalian aset tindak pidana = Stolen Asset Recovery
Sidang Senat = Senate Hearing
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia =Constitution of the Republic of Indonesia
Undang-undang =Act, Law
Peraturan Pemerintah =Government Regulation
Keputusan Presiden =Presidential Decree
Keputusan Menteri =Ministerial Decree
Amandemen =Amendment
Pasal =Chapter
Ayat =Clause/ Verse/ Article
Lembaran Negara =State Gazette, Statute Book
Atas nama = PP (Per Procurationem = Bahasa Latin)/ On behalf of
Plh (pelaksana harian) = acting/ on duty
Plt. (pelaksana tugas) = Ad interim/ Caretaker/ Acting official
SIUP = Letter of Business Permit
NPWP = Tax Registration Number
BAP = Investigation & Interrogation Report
TDP (Tanda Daftar Perusahaan) = Company Registration
RPTKA (Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing) = Expatriate Placement Plan
Akta Pendirian = Deed Establishment
Akta Lahir = Birth Certificate
Akta Perkawinan = Marriage Certificate
Akta Tanah = Land Title Deed
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) = Land Deed Official
APBN = State Budget
HGB (Hak Guna Bangunan) = Building Rights Title
SHM (Sertifikat Hak Milik) = Freehold Title
HGU (Hak Guna Usaha) = Cultivation Rights Title
Pajak Penghasilan (PPh) = Income Tax
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) = Value Added Tax (VAT)
Praduga Tak Bersalah = Presumption of Innocence




Referensi : Oxford Advanced Learner’s Dictionary – 8th Edition 2012. http://ind.proz.com.

Istilah Keimigrasian dalam Bahasa Inggris (bag1)

| komentar (1)


Surat Perjalanan Republik Indonesia (SPRI) = Passport
Darinsuk (Pendaratan Izin masuk)         = Landing Inspection and Permission
Pelayanan Visa di atas alat angkut udara = Immigration on Board
VITAS (Visa Terbatas)         = Admission
VKSK (Visa Kunjungan Saat Kedatangan) = Visa on Arrival
BVKS (Bebas Visa Kunjungan Singkat) = Short Visit Pass
Izin Singgah                 = Transit Visa
Paspor Dinas                 = Service Passport
Paspor Diplomatik                 = Diplomatic Passport
Permanen Residen                 = Permanent Resident
Visa Diplomatik             = Diplomatic Visa
Visa Dinas                  = Service Visa
Izin SInggah/ Visa singgah                 = Transit Visa
Dokumen Imigrasi                 = Immigration Document
Izin Berangkat                 = Exit Permit
Pengawasan Perbatasan                 = Border Control
Lintas Batas Darat                 = Land Border Pass
Rumah Detensi Imigrasi         = Detention House
Pengawasan dan Penindakan         = Immigration of Supervision and Enforcement
KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) = Temporary Stay Permit Card
KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap) = Permanent Stay Permit Card
Buku Pengawasan Orang Asing (POA) = Immigration Control Book
Daftar Cekal                 = Alert List
Kantor Imigrasi                 = Immigration Office
Tempat Pemeriksaan Imigrasi         = Immigration Checkpoint
Dokumen Keimigrasian         = Immigration Document
Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) = Travel Document In Lieu of Passport
Penjamin                         = Sponsor/ Guarantor
Penangkalan                = Detterence

sumber: UU No.6 Tahun 2011

Ideologi dalam Penerjemahan

| komentar


Dalam menerjemahkan, terdapat beberapa ideologi. Tetapi, apa itu ideologi? Kita harus mengetahuinya terlebih dahulu. Ideologi merupakan suatu prinsip yang diyakini benar oleh sekelompok masyarakat. Istilah ideologi didefinisikan sebagai sesuatu yang implisit dari pernyataan, kepercayaan dan sistem nilai yang dimiliki oleh suatu kelompok sosial.
Jadi, suatu ideologi dalam penerjemahan merupakan suatu prinsip kepecayaan menganai benar-salah atau baik-buruk suatu hasil terjemahan. Artinya, suatu jenis terjemahan itu kemungkinan cocok dan dapat dibaca atau dipahami bahkan diterima oleh pembaca.
Selain itu, ada juga ideologi yang disebut foreignization dan domestication. Foreignization adalah adanya aspek dan nilai kata atau budaya bahasa sumber yang lebih banyak dalam teks sasaran. Sedangkan Domesticationn adalah lebih banyaknya aspek dan nilai kata atau budaya bahasa sasaran dalam teks sasaran.

Secara umum, ideologi adalah suatu prinsip yang dipercayai kebenarannya oleh sebuah komunitas dalam suatu masyarakat. Sementara itu dalam bidang penerjemahan, ideologi berarti prinsip atau keyakinan mengenai benar-salah dalam penerjemahan (Hoed, 2004). Jika teknik penerjemahan berada pada tataran mikro, metode penerjemahan berada pada tataran makro, maka ideologi penerjemahan berada pada tataran super makro. Maksudnya, ideologi penerjemahan tidak bisa dilihat dari contoh per contoh kasus, tetapi pada tataran yang lebih luas lagi yaitu prinsip si penerjemah dalam menerjemahkan. Namun, meskipun terletak pada tataran yang sangat luas, ideologi masih dapat diidentifikasi, dapat dievaluasi pada penerapan teknik  yang digunakan, kemudian dianalisis metode nya, lalu bagian ideologinya.

Seorang penerjemah dituntut untuk dapat mengalihkan makna dari BSa ke BSu, tidak hanya satuan linguistiknya saja yang dialihkan, akan tetapi konsep budaya yang menaungi sebuah bahasa pun perlu dialihkan pula. Kegiatan penerjemahan adalah kegiatan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seorang penerjemah. Penerjemah memiliki kuasa penuh memutuskan akan diterjemahkan seperti apa teks BSa ke dalam BSu. Keputusan yang diambil tentulah harus tetap mengutamakan kesepadanan makna, mengikuti kaidah-kaidah kebahasaan yang ada pada kedua bahasa tersebut—Bsa dan BSu, dan memperkirakan siapakah pembacanya (target reader). Resiko dari setiap keputusan itu selalu ada. Ada penerjemah yang memilih mempertahankan konsep-konsep atau istilah yang ada pada BSu, mereka ini disebut berideologi foreignisasi. Sebaliknya penerjemah yang fokus mempertahankan konsep-konsep yang ada pada BSa disebut berideologi domestikasi. Sulit bagi penerjemah untuk melakukan foreignisasi saja atau domestikasi saja secara mutlak. Yang ada ialah kecenderungan foreinisasi atau kecenderungan domestikasi. Terlalu foreignisasi juga tidak baik, terjemahan yang dihasilkan akan menjadi sangat kaku dan kurang enak dibaca. Begitu pula terlalu domestikasi, hasil terjemahannya bisa sangat enak dibaca tetapi keakuratannya rendah, contohnya saduran, dimana unsur budaya pada BSu dihilangkan. Dalam penerjemahan selalu ada foreignisasi dan domestikasi, dan porsi penggunaannya menjadi pilihan penerjemah dengan berbagai pertimbangan.

Forenisasi

Ini adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang akurat, berterima, dan mudah dipahami adalah yang menginginkan kehadiran kebudayaan BSu pada hasil terjemahan. Ideologi ini menganggap kehadiran kebudayaan asing bermanfaat bagi pembaca sasaran. Ciri yang mencolok pada ideologi ini adalah adanya aspek kebudayaan asing yang diungkapkan dalam BSa.

Penerjemah berideologi ini, dalam hal metode  akan menerapkan, (1) penerjemahan Kata demi kata (Word-for-word Translation); (2) Penerjemahan Harfiah (literal Translation); (3) Penerjemahan Setia (Faithful Translation); (4) Penerjemahan Semantik (Semantic Translation). Ideologi ini akan tampak dari penggunaan empat teknik penerjemahan , (1) teknik harfiah; (2) teknik peminjaman murni; (3) teknik peminjaman alamiah; (4) teknik kalke.

Contoh penerapan ideologi ini, kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad tidak diterjemahkan, karena dianggap pembaca Indonesia sudah tidak asing lagi dengan sapaan tersebut.

Domestikasi

Ini adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSa, yakni bahwa penerjemahan yang akurat, berterima, dan mudah dipahami adalah yang menginginkan kehadiran kebudayaan BSa pada hasil terjemahan. Penganut ideology ini menginginkan hasil terjemahan sesuai dengan tradisi tulisan dan budaya dalam BSa. Oleh karena itu, penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya asing bagi pembacanya. Metode  yang dipilih pun adalah metode yang berorientasi pada BSa seperti adaptasi, penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif. Sementara itu, teknik  yang digunakan ialah selain dari empat teknik yang dianut ideologi foreinisasi.

Bagi penganut ideologi domestikasi, kata-kata asing seperti Mr, Mrs, Mom, Dad dan sebagainya harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Tuan, Nyonya, Ibu dan Ayah. Hal ini dilakukan agar keseluruhan terjemahan hadir sebagai bagian dari bahasa Indonesia sehingga berterima di kalangan pembaca BSa. Bagi penganut ideologi ini, istilah asing pada BSa harus dihindari dan diganti istilah pada BSu.

Bahasa Sumsang Lagi

Jumat, 20 Juli 2012 | komentar (2)



Mengutip tulisan teman saya di jejaring sosial Facebook “…ternyata Bahasa Indonesia itu sulit, berbanggalah bisa berbahasa Indonesia…”, menginsiprasikan saya untuk menanggapi pernyataannya  dalam tulisan ini. Tanggapan pertama, saya ingin membuktikan bahwa Bahasa Indonesia itu tidak sulit. Namun, para pengguna Bahasa Indonesia lah yang belum memiliki kecintaan yang tinggi terhadap Bahasa Indoensia serta budayanya. 
Ini mengakibatkan terjadi kekeliruan penggunaan Bahasa Indonesia sehari-hari bahkan penggunaan yang terbolak-balik atau disebut bahasa sumsang. Tidak jarang kita selalu menyebut kata ‘absen’ untuk mengisi daftar hadir dalam dunia kerja maupun sekolah. Seorang teman kerja kita berkata, “saya mau absen masuk dulu, takut terlambat.” Di sekolah, sang guru berseru, “Bapak mau absen kalian dulu satu per satu, baru kita mulai pelajaran.” Di kampus, untuk dapat mengikuti ujian akhir, mahasiswa harus memenuhi 80% kehadiran. Maka dari itu, seorang teman suka ‘titip’ absen ketika pelajaran di kelas akan dimulai.    
Kata ‘tidak bergeming’ juga kerap kali dipakai kala kita mengkritik pemerintah. “Jalan raya sudah pada rusak, tapi pemerintah tidak bergeming, sepertinya dibiarkan rusak.” Padahal, arti ‘geming’ ialah tidak bergerak atau diam saja. Jadi, ‘tidak bergeming’ artinya ‘tidak diam saja’ alias ‘bergerak/ bertindak’. Loh, mengapa terbalik? Maksud hati ingin mengatakan kalau pemerintah hanya diam saja dan tidak memperbaiki jalan rusak, tetapi makna kalimat sebenarnya tidak demikian, justru makna sebaliknya yang sampai. 
Sama halnya ketika kita merasa kedinginan di dalam suatu ruangan dengan AC. Kita suka menyuruh teman kita untuk ‘menurunkan (suhu) AC-nya’. Padahal, semakin diturunkan suhu AC, semakin dingin pula keadaan ruangan. Pasalnya, titik beku ialah pada suhu 0 derajat celcius, dan titik didih ialah 100 derajat celcius. Maksud kita ingin menaikkan suhu agar tidak dingin lagi, tapi makna kata menjadi keliru.
Begitu juga dengan kebijakan pemerintah yang ditulis besar-besar di setiap sudut ruangan, “Bebas Rokok”. Tersua juga tulisan “Kampus ini bebas Narkoba”. Setiap hari minggu Pemprov DKI memberlakukan “Hari Bebas Kendaraan” di Jalan Sudirman hingga Jalan M.H. Thamrin Jakarta. Kata bebas tersebut semestinya ditambah kata ‘dari’ menjadi “Bebas dari Rokok”, “Kampus ini bebas dari Narkoba” dan “Hari Bebas dari Kendaraan”. Alasannya, kata ‘bebas’ berasal dari ‘free of’ dalam frasa “free of smoke”, “free of drugs”, dan “free of charge”. Kata depan ‘of’ tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang mengakibatkan maknanya terbolak-balik.
Dalam bungkus rokok tertulis “PERINGATAN PEMERINTAH: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”. Kata ‘menyebabkan’ berasal dari ‘sebab’ yang menyatakan alasan. Seperti dalam kalimat itu, kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin merupakan akibat bukan sebab. Jadi, mengapa menggunakan kata ‘menyebabkan’? seharunsnya kan ‘mengakibatkan’ karena menyatakan hasil bukan alasan. Inilah contoh bahasa sumsang. 
Tanggapan kedua, bahwa saya bangga bisa berbahasa Indonesia dan menjadi orang Indonesia. Akan tetapi, orang cenderung menggunakan bahasa asing dalam setiap kegiatan, bahkan pemerintah tiap kali mengadakan acara. Tengok saja, “Jakarta Fair”, “Tour de Singkarak”, “Indonesia Super League”,  “Busway”, “Residence”, “Superblock” dan acara televisi “Kick Andy”, “Opera Van Java” dan sejenisnya. Sungguh kebanggaan yang sumsang.

Faktor apa yang memengaruhi penerjemahan?

Kamis, 19 Juli 2012 | komentar


Ketika menerjemahakan teks, tidak sedikit hal yang dapat memengaruhi penerjemahan bahkan si penerjemah itu sendiri. Hal yang cukup memengaruhi penerjemahan adalah calon pembaca teks. Sebelum menerjemahkan, kita harus menimbang siapa yang akan membaca teks kita. Jangan sampai pemilihan kata yang kita tulis tidak sesuai dengan orang yang akan membaca tulisan kita.  

Prof. Benny Hoed 2006 menyatakan ada 3 faktor penting dalam penerjemahan: faktor perbedaan bahasa, faktor konteks, dan faktor prosedur penerjemahan. Pertama, beliau menjelaskan bahwa tidak ada dua bahasa yang sama. Setiap bahasa memiliki sistem dan struktur khas masing-masing. Kedua, konteks atau sebagai proses penerjemahan disebut kontekstualisasi. Ketiga, kita dapa menentukan prosedur dan teknik penerjemahan yang cocok ketika memulai menerjemahkan.

Sementara itu, menurut Newmark (1988: 4-5), ada faktor yang ditekankan pada BSu dan juga BSa. Faktor pada BSu adalah pengaruh penulis BSu, norma BSu, budaya BSu serta latar waktu dan tempat BSu. Sedangkan faktor pada BSa adalah pengaruh penulis BSa, norma BSa, budaya BSa serta latar waktu dan tempat BSa.


ACUAN TARIF PENERJEMAHAN BARU

| komentar

Acuan Tarif Penerjemahan- sumber: HPI
Kami bersyukur bahwa pemerintah Indonesia telah mengakui penerjemah sebagai jabatan
fungsional dan selain itu juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.02/2011
tentang Standar Biaya Tahun 2012 yang mengatur Satuan Biaya Penerjemahan dan Pengetikan
(Lampiran II halaman 4 butir 14).

Perincian biaya tersebut adalah sebagai berikut: (Cuplikan)

* Peraturan selengkapnya dapat diunduh dari situs:
http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/PMK
84 - 2011 - Standar Biaya Tahun Anggaran 2012.pdf


Pada prinsipnya HPI mendukung tarif yang ditetapkan dalam PMK (Peraturan Menteri
Keuangan), namun tidak melarang penerjemah untuk memberlakukan tarif yang berbeda
karena pada akhirnya tarif yang diberlakukan adalah yang disepakati antara penerjemah dan
pengguna jasa.

Sebagaimana dapat dilihat di atas, PMK tersebut tidak membedakan antara tarif penerjemahan
dari bahasa asing ke bahasa Indonesia dan dari bahasa Indonesia ke bahasa asing, meskipun
kita tahu ada perbedaan dalam tingkat kesulitan. Selain itu, tarif PMK juga tidak
memperhitungkan perbedaan tingkat kesulitan yang terkait dengan jenis naskah yang
diterjemahkan.

Dengan memperhatikan hal ini, penerjemah dapat mengenakan biaya tambahan, baik
tambahan yang dimasukkan ke dalam tarif yang ditawarkan maupun sebagai biaya tambahan
terpisah (surcharge).


Contoh ‘biaya tambahan’ adalah biaya: 
- penerjemahan dari bahasa ibu ke bahasa asing
- penerjemahan naskah teknik
- penerjemahan naskah kedokteran
- penerjemahan naskah hukum
- penerjemahan naskah bidang minyak dan gas
- penerjemahan oleh penerjemah bersumpah
- penerjemahan naskah berbentuk cetakan atau gambar (DTP Surcharge)
- penerjemahan dengan tenggat waktu yang sangat pendek (rush order)
- dan lain-lain. 

Acuan Format Terjemahan Halaman Jadi
Mengingat PMK tersebut tidak mencantumkan format ‘halaman jadi’, kami merasa perlu
memberikan rekomendasi format sebagai berikut:
Ukuran kertas                              : A4 (21 x 29,7 cm)
Margin (atas, bawah, kiri, kanan) : 2,5 cm
Huruf                                           : Arial
Ukuran huruf                                : 12 points
Jarak antarbaris                            : Dobel
Format di atas menghasilkan rata-rata 250 kata bahasa Indonesia per halaman.


Acuan Tarif Per Kata 
Sebagaimana sangat lazim digunakan di dunia terjemahan internasional, meskipun ada
pengecualian, tarif penerjemahan pada umumnya menggunakan tarif per kata bahasa sumber.
Penggunaan cara perhitungan berdasarkan naskah bahasa sumber ini terutama memberikan
dua manfaat penting jika dibandingkan dengan tarif per halaman, yakni:
- Sebelum pekerjaan dimulai, penerjemah dan pengguna jasa sudah mengetahui seluruh
nilai pekerjaan; dalam hal tarif per halaman jadi, seluruh biaya baru dapat diketahui
setelah pekerjaan selesai;
- Penerjemah tidak dapat dituduh menggunakan kata-kata yang tidak perlu dengan tujuan
memperbanyak jumlah kata.

Acuan Tarif Penyuntingan
Penerjemah juga sering diminta untuk melakukan pekerjaan penyuntingan. Tarif yang lazim
untuk jenis pekerjaan ini adalah sekitar 50% dari tarif penerjemahan dan dihitung berdasarkan
naskah terjemahan.

Acuan Tarif Penerjemahan Buku
Perlu diingat bahwa tarif PMK di atas berlaku untuk penerjemahan non-buku. Tarif yang
berlaku dalam industri penerbitan menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan jika
dibandingkan dengan tarif penerjemahan non-buku. Tarif penerjemahan buku berkisar antara
Rp5 dan Rp15 per karakter atau Rp7.500 dan Rp20.000 per halaman jadi. Namun, sebagaimana
telah disebutkan di atas, harga akhir ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penerjemah
dan pengguna jasa.


HPI 18 Juli 2012




Seperti apa terjemahan yang baik itu?

| komentar


Penerjemahan yang baik itu terjemahan yang berterima artinya pesannya sesuai dengan bahasa sumbernya. Terjemahan itu bukan masalah pas atau tidak pas terdengar di telinga ataupun janggal atau tidak janggal dibaca, tapi bagaimana penerjemah menyampaikan pesan, konsep dan budaya dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Memang tidak semudah yang kita bayangkan. Akan tetapi, jika kita sudah terbiasa dan paham budaya serta konsep yang akan diterjemahkan maka dengan mudah tulisan hasil terjemahan mengalir begitu saja. 

Seorang penerjemah tidak akan terfokus pada satu sumber referensi seperti Kamus Ekabahasa atau Kamus Dwibahasa melainkan berbagai wawasan yang dimilikinya. Ini bertujuan untuk menghasilkan terjemahan yang baik dan teks tidak akan terasa hasil terjemahan jika dibaca oleh seseorang. 

Menurut J.C. Catford, terjemahan yang baik itu tidak terdengar seperti hasil penerjemahan tetapi pesannya benar dapat disampaikan atau dipertahankan walaupun terjadi perubahan struktur atau betuk (kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf).

Seperti buku-buku bacaan mengenai manajemen atau ekonomi, novel terjemahan, teks dalam film dsb. haruslah komunikatif dan pembaca atau penonton tidak merasa bahwa itu semua hasil terjemahan. Biasanya, hasil terjemahan yang kurang baik akan terasa kaku dan tidak nyambung.

Kesulitan apa saja yang biasanya terjadi ketika menerjemahkan?

| komentar


Menurut saya, Kesulitan dalam menerjemahkan suatu teks pasti kerap kali terjadi. Berikut beberapa kendala atau kesulitan ketika menerjemahkan:
1. Struktur bahasa atau tata bahasa yang berbeda (posisi kelas kata, frasa, klausa dsb.).
2. Pola bahasa serta gaya dari suatu bahasa tertentu.
3. Pilihan kata yang kurang tepat dalam konteks tertentu.
4. Kata-kata budaya yang kurang mudah untuk ditemukan dalam bahasa sasaran.
5. Istilah dalam suatu bidang berbeda dengan istilah bidang lain.
6. Kesepadanan yang belum ditemukan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
7. Konsep kata yang berbeda dalam suatu bidang tertentu.
Kesulitan pun dapat terjadi oleh seorang penerjemah, yakni biasanya:
1. Kurangnya pengetahuan seorang penerjemah dalam suatu bidang tertentu.
2. Belum memiliki pengalaman dalam menerjemhakan berbagai macam teks.
3. Belum berkecimpung dalam suatu kebudayaan dan bidang tertentu seperti istilah makanan, tarian, seni, hukum, kedokteran dsb.

Menurut Prof. Hoed 2006, ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan penerjemah ketika menerjemahkan suatu teks, yakni:
1. Perbedaan struktur luar suatu bahasa sumber dengan bahasa sasaran.
2. Perbedaan budaya dalam bahasa tersebut.
3. Tingkat pemahaman teks mengenai konteks oleh penerjemah yang berbeda tafsir.
4. Terdapat istilah tertentu bahkan baru yang tidak ada padanannya dalam bahasa sasaran.

Apa bedanya terjemahan dan penerjemahan?

| komentar


Terjemahan berarti hasil menerjemahakan. Sedangkan penerjemahan adalah proses, cara atau perbuatan menerjemahkan/ pengalihbahasaan.

Menurut KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat tahun 2008, tersua di halaman 1452 bahwa tejemahan adalah salinan bahasa; alih bahasa (dari suatu bahasa ke bahasa lain); hasil menerjemahkan. Sedangkan penerjemahan adalah proses, cara, perbuatan menerjemahkan/ pengalihbahasaan.

Definisi Penerjemahan

| komentar (1)


Ada beberapa definisi dari berbagai sumber mengenai penerjemahan. Penerjemahan berasal dari Bahasa Arab Tarjammah yang berarti mengalihbahasakan suatu bahasa ke bahasa lain. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga terjemah/ menerjemahakan merupakan menyalin /memindahakan suatu bahasa ke bahasa lain atau mengalihbahasakan.

Selain itu, penerjemahan menurut Hoed (23:2006) adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa (misalnya bahasa Inggris) ke dalam tekas bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia). Memang bukan suatu hal yang mudah untuk menerjemahkan suatu teks. Menyampaikan pesan merupakan kegiatan menerjemahkan yang paling utama wajib dilakuakan. 

Larson menuliskan bahwa pada dasarnya penerjemahan ialah suatu perubahan bentuk dari suatu bahasa. Perubahan ini dapat berupa frasa, klausa, kalimat, paragraf dsb. dalam kaitan lisan maupun tulisan. Ini dilihat dari struktur luarnya saja. Artinya, selain membawa pesan, kegiatan menerjemahkan juga merupakan kegiatan mengubah bentuk bahasa dengan tujuan hasil terjemahan dapat dipahamai sebagai teks yang dapat dinikmati pembaca dan bahkan teks dirasa tidak seperti teks hasil terjemahan.

Jadi, penerjemahan itu proses mengalihbahasa atau mengaliheja secara tulisan suatu bahasa ke bahasa lain tanpa mengubah pesan yang ingin disampaikan. Walaupun terjadi perubahan bentuk (frasa, klausa, kalimat dan paragraf). Seperti yang ditulis Nida dan Taber (12:1974) penerjemahan harus bertujuan untuk menyampaikan pesan. Tetapi penyampaian pesan ini akan mengalami penyesuaian bentuk leksikal dan gramatikal.

Dalam memahami arti penerjemahan, Catford menekankan bahwa penerjemahan harus beerbasis pada kespadanan. Penerjemahan menurut Catford (20:1965) merupakan pergantian materi tekstual dari suatu bahasa (BSu) secara sepadan ke dalam bahasa lain (BSa). Tidak hanya ini, perlu diingat bahwa terjemahan yang baik tidak dirasa seperti hasil terjemahan ketika dibaca.
Singkatnya, ada empat kunci yang diperlukan dalam menerjemahkan teks, yakni:
a. Adanya perubahan bentuk (frasa, klausa, kalimat, paragraf dsb.)
b. Penyampaian pesan (yang tidak diubah/ dipertahankan)
c. Kesepadanan (ekuivalensi)
d. Teks terjemahan yang tidak terasa hasil penerjemahan.

Memang bukan hal yang mudah dalam menerjemahkan suatu teks. Ketika menerjemahkan teks, penerjemah dihadapkan pada perbedaan bentuk frasa, klausa, kalimat teks sumber dan teks sasaran. Setiap bahasa memiliki aturan masing-masing yang dipengaruhi oleh  budaya masing-masing pula. Yang terpenting adalah ketika menerjemahkan suatu kalimat, penerjemah harus menyadari bahwa akan ada perubahan bentuk frasa, klausa dan kalimat. 

Sehingga, penyampaian pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran tetap terjaga, dipertahankan dan tidak berubah walaupun bentuk frasa, klausa, kalimat bahkan struktur berubah. Perlu diingat bahwa sebelum menerjemahkan teks, penerjemah harus menemukan dan mengetahui apa pesan yang ingin disamapaikan penulis. Artinya, penerjemah harus membaca seluruh teks yang ingin diterjemahkan hingga menemukan pesan yang tersirat dalam teks sumber.

Kesalahan Berbahasa di Televisi (Bagian IV)

Senin, 16 Juli 2012 | komentar

Masalah Semantik: 
Kesalahan pertama: "Bobbi Menurunkan Bakat Bernyanyi Dari Sang Ibu" (bahasa sumsang)
Bobbi adalah anaknya Whitney Houston. Apakah Bobbi yang menurunkan Bakat Bernyanyinya?
Seharusnya = "Sang Ibu Menurunkan Bakat Bernyanyi pada Bobbi" atau "Bobbi mendapat bakat bernyanyi dari sang ibu"
Kesalahan kedua (Ketidakbakuan) : RP1.900 Trilyun seharusnya RP1.900 Triliun (KBBI IV 2008)

 Ijin = Izin

Mengantri = Mengantre = Antre



Seharusnya "Aktivitas Sepi Saat Pencoblosan" = bukan 'sepi aktivitas' melainkan 'aktivitas sepi' = pola kalimat DM bukan MD.

 Nyoblos??? = tidak baku

 'Menyoblos' seharusnya 'mencoblos' = huruf 'c' dalam kata 'coblos' tidak mengalapi pelesapan. Huruf mengalami pelesapan yakni "KTSP"

Apakah Korupsi Telah Menjadi Budaya?

| komentar


Korupsi: Budaya dan Kebudayaan

Salah satu artikel di KOMPAS 15 Juli 2012, tersua tulisan Korupsi Telah Menjadi Budaya. Dengan segera saya membacanya kalimat demi kalimat. Entah ini bentuk kutipan dalam suatu diskusi atau dari Anggota Komisi III DPR. Saya bergegas membuka lagi buku-buku terkait budaya dan kebudayaan.
Setelah melakukan pengecekan makna budaya dan kebudayaan sekaligus budaya ditinjau dari ilmu antropologi, saya menyarankan bahwa Korupsi tidak termasuk ke dalam kategori budaya dan kebudayaan Bangsa Indonesia. Namun sejarah mencatat, kegiatan korupsi di Indonesia memang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda terutama era VOC tahun 1602. Akan tetapi, saya lebih melakukan pendekatan dari segi bahasa, konteks kebudayaan serta ihwal penerjemahan.
Kata budaya dan kebudayaan dalam Bahasa Inggris disebut culture. Budaya dan Kebudayaan memiliki makna yang berbeda. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 8th edition tahun 2010, kata culture dijelaskan sebagai the customs and beliefs, art, way of life and social organization of a particular country or group atau diterjemahkan dengan adat istiadat dan keyakinan, seni, cara pandang hidup serta organisasi sosial dalam suatu kelompok/ bangsa tertentu. Selain itu, lebih dijabarkan lagi sebagai art/music/literature seni/musik/kesusasteraan serta beliefs/attitudes keyakinan/tingkah laku.
Kata culture juga berasal dari bahasa Latin cultura berarti pertumbuhan, penyuburan dengan kata kerja colere yang bermakna mengolah, mengerjakan. Kata culture pun berasal dari kata di era Middle English yang merujuk kepada penyuburan lahan pertanian. 
Tidak hanya itu, belum puas rasanya saya ingin membuktikan bahawa Korupsi bukan termasuk kategori budaya dan kebudayaan Bangsa Indonesia, saya merujuk ke KBBI Edisi Keempat tahun 2008. Budaya yakni pikiran, akal budi, hasil sementara Kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia (seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat).

Akhrinya saya mengutip tulisan Prof.Koentjaraningrat pakar Kebudayaan dan Antropologi. Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Antropologi  Bab V halaman 180, beliau menjelaskan sangat detil bahwa budaya memiliki arti yang terbatas hanya kepada hal-hal yang indah seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara kesusasteraan dan filsfat. Namun, definisi ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya. Dalam Ilmu ini, kebudayaan dan budaya diartikan sama yakni keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pernah ada 2 orang sarjana antropologi mengumpulakan paling sediki 160 buah definisi kebudayaan yang kemudian mereka analisa dan dicari latar belakang, prinsip dan intinya. 
Malahan, lanjut beliau, ada tiga wujud kebudayaan. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat terkait dengan sistem sosial masyarakat (social system). Wujud terakhir kebudayaan ialah sebagai benda-benda hasil karya manusia. 
  Sekali lagi, saya dapat menyimpulkan bahwa budaya dan kebudayaan Bangsa Indonesia ialah bukan korupsi. Pasalnya, budaya merupakan perwujudan yang pasti bermanfaat baik untuk kelompok masyarakat. Kata kuncinya ialah manfaat baik dan sistem sosial dalam kelompok masyarakat. Apakah korupsi mengandung unsur/konteks budaya dan kebudayaan? Apakah korupsi perwujudan dari 3 wujud kebudayaan?   
Diharapkan tidak ada lagi konsep bahwa korupsi telah menjadi budaya. Banyak masyarakat juga berasumsi bahwa merokok, macet dan banjir sudah menjadi budaya di Indonesia. Sungguh ironis.

KTP ELEKTRONIS bukan ELEKTRONIK

Kamis, 12 Juli 2012 | komentar (1)


Tanggal 5 Juli 2012 saya membaca tulisan di Surat Pembaca Kompas oleh FS. Hartono tentang Bahasa Tutur Politisi yang menyatakan ‘…yang benar KTP-E bukan E-KTP seperti tertera dalam undangan yang  saya terima dari kantor kecamatan.” Memang inilah bukti bahwa masih rendahnya kualitas berbahasa pemerintah di Indonesia.  
Setali tiga uang, bahasa dalam Peraturan Presiden dan Peraturan pemerintah dinilai kurang konsisten. Ihwal penyerapan bahasa asing, saya menemukan bahwa antara satu peraturan dengan peraturan lainnya memiliki istilah yang berbeda. Kenyataannya, kata itu berasal dari bahasa sumber yang sama. 
Buktinya, bahasa E-KTP tidak hanya yang ditulis di undangan,  dalam Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2009 tentang Tarif dan Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tertulis “…Paspor biasa Elektronis (e-Passport) 48...”. Namun di Peraturan Presiden No.67 Tahun 2011 tentang Administrasi Kependudukan di bagian Menimbang berbunyi “…pemberlakukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik secara nasional...”.
Saya sangat terkejut dengan penulisan dua kata berbeda dalam dua peraturan itu yakni elektronis dan elektronik. Padahal, bahasa sumber dari kata tersebut berasal dari kata yang sama electronic. Dalam Oxford Learner’s Dictionary A.S. Hornby tahun 2000, tersua lema electronic halaman 405 dengan penjelasan (of a device) having or using many small parts such as microchips…yang kurang lebih berarti (dalam sebuah alat) memiliki atau menggunakan banyak bagian kecil seperti mikrocip. Sementara itu, di dalam KBBI IV 2008 di halaman 363 memang terdapat 2 lema berbeda pula elektronik dan elektronis. 
Elektronik berarti alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektrnonika; hal atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika. Selain itu, makna Elektronis ialah berhubungan dengan elektron; ada hubungannya atau bersangkutan dengan elektronika. Jadi, apakah padanan yang tepat untuk Electronic Passport dan Electronic pada KTP? Saya juga jadi ingat tulisan Alfons Taryadi yang sampai puyeng beliau mencari kata Sia-sia di KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat. 
Akhirnya, setelah saya memperhatikan kelas kata (part of speech), elektronik berkelas kata nomina dan elektronis berkelas kata ajektiva. Dengan begitu, sudah jelas bahwa E-Paspport dan istilah E-KTP dapat dipadankan dengan Paspor Elektronis dan KTP Elektronis untuk KTP-E karena berdasarkan pola DM (diterangkan-menerangkan).               
Bagaimana dengan Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Pasal 58 perihal Tahapan Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi? Apakah KBBI IV 2008 juga mencatat lema konsultansi? Ternyata tidak ada kata konsultansi melainkan konsultan dan konsultasi. Lantas, siapa yang wajib bertanggung jawab, pendekar bahasa di Pusat Bahasa atau Anggota DPR RI? 

 
© 2012 Bahasa, Budaya, Penerjemahan - Ridwan Arifin

Template : Mas Template
Edited :
Toko Online Perlengkapan Haji dan Umrah
BERANDA | KEMBALI KE ATAS