Prof Mudji Sutrisno

Jumat, 08 Juni 2012 | komentar

Menelusuri Sifat Negatif Kita-Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Tuesday, 29 May 2012
Kalau kita perhatikan, sifat-sifat negatif kita sudah mengisi berbagai ruang aktivitas kita sehari-hari. Ada beberapa contoh fenomena sifat negatif yang biasa kita temui, misalnya: Pertama, usil dan resek.

Kita suka memperhatikan orang lain dan mau masuk ke urusannya dengan komentar gratis. Misalnya di bandara seorang resepsionis ruang makan GFF berkomentar,“Lho kanbaru take offsiang,mengapa sudah datang pagi-pagi?” Dalam batin saya, “Suka-suka saya kan,kokusil?” Kedua,bila di depan kita (para lelaki yangsedangduduk-duduk) lewatlah perempuan cantik,mulailah “siulan”,komentar-komentar keluar apalagi celetukanceletukan mengilas fisik wajah dan lain-lain.

Padahal di negara lain saya tidak menjumpai itu karena edukasi untuk hormat ke orang lain seperti di Filipina atau Eropa Utara. Ketiga, komentar-komentar gratis menyangkut dandanan, rambut,cara berjalan yang menjadikan orang lain sebagai “objek”percakapan. Sementara di peradaban lain orang mengisi waktu tunggunya dengan membaca buku atau laptop dan kini Ipad membuat si pelaku sibuk dengan kerjanya sendiri dan bukan mengobjekkan yang lain.

Keempat,“Wah, apa kabar? Kok gemuk ya kini, apa jarang olahraga?” Coba Anda amati kata per kata rangkaian kalimatnya. Awalnya sapaan, namun ujung-ujungnya mengomentari keadaan tubuh yang sebenarnya bukan menjadi urusannya. Kelima,“Aduh anakmu cakep sekali,”lalu dicubitlah pipi anak dengan gemas sampai merah.

Waktu saya bertemu satu keluarga separuh Indonesia dan separuh Amerika, si anak yang Indonesia benar-benar marah ketika sapaan akrab itu melukai pipinya dengan cubitan dan inilah yang sudah digolongkan tindak harassment ringan. Si anak berkisah traumatik bila bertemu tipe-tipe orang seperti ini. Ia trauma lantaran ungkapan kagum disertai cubitan yang melukai wajahnya.

Mengamati fenomena-fenomena di atas, kami pernah menaruhnya dalam bingkai diskusi behaviorist(sudut pandang perilaku) dan mengontraskan tiadanya garis batas kesadaran antara mana wilayah pribadi dan wilayah publik. Barangkali karena hormat pada ruang privat dan privilese seseorang dalam masyarakat kolektif memang tidak ada, orang tidak merasa aneh “keluarmasuk” ke wilayah-wilayah pribadi sesamanya karena semuanya merupakan wilayah umum.

Berikutnya, di balik ungkapan- ungkapan di atas sebenarnya secara positif terungkaplah perhatian atau sikap mau peduli pada kehadiran orang lain. Hanya, ungkapannya ikut campur masuk ruang pribadi orang lain. Ketika budaya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan atau kolektivitas bertemu budaya yang menjunjung individualitas,di situ orang individual akan “tajam” mengkritik sok ingin tahu dan ingin campur tangannya ke wilayah personal orang.

Ketika dosen memberi tahu nilai mahasiswa dengan mengundangnya ke depan melihat daftar nama dan nilainya, sang dosen yang menjunjung ruang pribadi akan menegur si mahasiswa bila sambil melihat nilainya sendiri juga ingin melihat-lihat dan ingin tahu nilai-nilai temannya. Sebab, inilah “pelanggaran”batas antara yang disebut pribadi dan publik. Memasuki secara sadar ke ruang pribadi sesamanya dianggap dan dinilai tidak sopan dan tidak pantas.

MUDJI SUTRISNO SJ
Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan
Universitas Indonesia

Share this article :

Posting Komentar

 
© 2012 Bahasa, Budaya, Penerjemahan - Ridwan Arifin

Template : Mas Template
Edited :
Toko Online Perlengkapan Haji dan Umrah
BERANDA | KEMBALI KE ATAS